Sunday, August 22, 2010

Kematian Sepenggal Kata

Sesuatu tersesat di mulut waktu, lalu hilang melongong: sesuatu yang belum terabai tangan, masih pekat terselimut. Di bisu yang kau dekap itu, ada sunyi yang riuh menikam aksara. Sedang antara kita menjadi pusara atas waktu yang bentangkan berjuta jarak pada cercah matahari dan arak gemawan. Entah sampai kapan kita harus betah tinggal di ombak yang tak menggulung.


Sepotong pigura yang pecah berdesing dihantam rindu. Retak lara. Lalu kelam dimakan dalam suatu pesta pora.
Sesungguhnya, yang majal itu, malaikat maut yang bersayap hitam ataukah sebaris kata yang tak kunjung selesai kau tuliskan? Karena ketika ketajaman kata menjadi tumpul, pengkekangan menjadi sebuah pasal taat hukum. Hidup tanpa cinta memang hampa luar biasa, tetapi pemasungan sebuah kata yang merdeka? Seluruh segala akan binasa.


Di jelata kata, tidakkah kau lihat kami melata dan terlunta? Terbata memilah cinta di dalam sepotong roti. Maka aku yang tanpa roh menetap di mataku ini, tanpa sehimpunan sahabat, aku akan melepaskan kata dari belenggunya.


Tetapi kemarau memberangus tunastunas. Ladang huruf mengerontang dalam penantian. Segumpalan kata yang teronggok usang, seperti tanah keramat yang tak pernah jamah tangan. Haram untuk kita minumi setiap maknanya. Dan lihatlah para tuan tanah tamak kian membuncit dalam paceklik.


Lalu sekali lagi sepatah kata patah di udara. Telinga bungkam sedang mulut tuli.
Sekali lagi sebuah kalimat menjadi tanpa hakikat, terbelah oleh lidah penguasa yang senang berjingkat dengan mata menebar jerat.
Dan manusia kembali mati kata. Imajinasi menjadi sebuah reka para penguasa, priyayi, bukan milik orang merdeka.


Pada akhirnya, tanpa kata, semua kamu, atau kita, tak lagi menemukan makna. Tanpa kata, kita tak lagi merdeka. Kita mati, di dalam sunyi yang panjang.

0 comments:

Post a Comment