Sunday, December 5, 2010

aku ingin


aku ingin diam lama menatapmu dalam bisu.
aku ingin berbagi gulita denganmu melalui matamu lentera yang menera.

aku ingin habisi bahagia denganmu untuk esok yang mungkin tak akan tiba.
aku ingin menenggelamkan waktu sebagai kenangan, sebab almanak terlalu singkat.

Bersamamu, aku ingin lupakan hari-hari yang berlari menderu, yang seakan tak bersahabat dengan rindu. Ke dalam pelukanmu aku berteduh, dari luka yang merinai, lebat dan hebat..

Saturday, October 30, 2010

Cerita Rindu

Ranum mentari pagi ini indah, mungkin sewarna wajahmu. Lalu kemanakah kita bersua? Embun yang cahaya, atau bebayang yang gulita? Sementara cahaya lamat menyusut. aku mengkhusyuk dalam kidung doa. berharap kenangmu tak menyementara.

Sayang, pada jarak yang tak berukur, kita berbagi gemintang dan langit. Mengapa tak jua kita temukan sauh yang labuh? Seberapa mimpi lagi yang perlu kita penuhi, sekadar tepiskan rindu yang berentang sekian jarak ini? Karena telah habis semua waktu, tertepikan oleh harapku yang kian semu.

Bukankah sudah pernah kubisikkan rindu yang fakir padamu? Kembalilah, dengan bibirmu yang penyihir. Kulum hasratku dengan hadirmu, benamkan aku dijurang tanpa pilu. Resapi, rasakan, betapa hebatnya inginku.

Aku mencarimu di udara yang kuhela, dalam gema yang tak kembali. Dalam senja yang pulang ke pelukan malam. Namun hitam malam penuh kesalahan, warnanya justru sesatkan jalur perjalanan.

Setelah sekian awan lembayung ku lewati begitu saja. semacam kosong tak pernah tahu pesisir. Aku-pun menunggu pada bangku taman. Coba melarung kisah lalu, membakarnya dari sudut kalbu. Ingin segera berlalu, keluar dari lingkaran hidup tak menentu.

Mungkin segala waktu hanya kisaran yang takkan terulang, henti, atau berkurang. hanya sekian bayangmu yang tak pernah pulang.

Monday, October 18, 2010

Mencintaimu Membuatku Awam



Jiwa berjiwa yang hitam menyimpan warna yang cekam. Sepi yang berlentera kelam, ada cahaya yang benam, rindu yang dalam. Secarik amarah yang pendam, seperti tumpah ke langit, lalu legam. Lihatlah, bulan yang sama di langit, turut kedam lebam.

Kata-kata terbata, terdampar pada genggammu yang jeram: sebaris pesisir yang bergantung pada kusam cuaca. Engkau memulai seluruh yang perih, menjejal lubukku dengan suram, dengan gamang. Mataku, pusara pada telaga yang tak surut. Mataku, benderang yang padam, lilin yang penjam, lampu yang redam, merindu cahaya.

Pada resah diam, dengarkan luka membekam, menggumamkan dendam degam. Tidakkah akhirnya, mencintaimu, ternyata membuatku tak lebih dari seorang yang awam?  

Sunday, October 3, 2010

Luka Sewarna Senja


Malam meretaskan luka.
Menguak luka seperti senja kehilangan warna.
Sekarang riang hanya sebuah kisah semu saja

Aku ingin malam yang suka, dimana tawa-tawa bahana.
Terbahak mencari arah yang tiada,
terhuyung dalam khayal, tersentak seketika.

Akankah pagi membawa jawabannya? Telah lelah aku melukis tanya.
Telah begah aku mendulang rindu, bila sisanya hanya jelaga
Lelah menanti ketiadaan, dirimu hanya semu impian malam.
Ingin berhenti menatap hitam, keluar dari labirin kelam.

Tuesday, September 21, 2010

Rahasia

Kita mulai semua saat penjam matamu menepiskan hikayat kita berdua, lupakah kau?
Dengan setangkai mawar retak layu di halaman, bercinta kita di atas kembang setaman.
Tiada berduri, tiada darah terpetik tangan.


Lalu mengapa selangut rasa masih menyadurkan Lara? Harap yang hancur tak teraba di dalam kelam. Pekat yang tak terobati, yang gugur dan menyuram. Sebalur hati memburam, mengusam. Seperti gundah berada di pihak yang kalah: tak sanggup aku melihatnya menyerak, menghambur, dan meluntur bersama malam.


Mungkin ini dosa. Tak buyar meski dalam bayang ribuan do’a. Haruskah keyakinanku perlahan menjauh, di kilasan waktu yang selalu memandang langit runtuh? Pada dermaga teduh yang menudung luluh, biar masa lalu ku terbunuh. Biar kurangkai cerita baru tanpa keluh. Karena inginku, melangkah ke hari baru yang cerah, memunguti kepingan yang pecah terbelah.


Dengar do’aku terucap di antaranya.
Berjuta siratan takdir terlihat hampa.
Mengetuk di pintuMu sekadar coba mengurai makna.


Hingga perjalanan ini terasa teduh, mengarungi bahtera tanpa merasa itu jenuh. Mencari apa yang suatu ketika pernah utuh. Dan cinta tak akan lagi terasa jauh, setiap angan akan terengkuh, selalu siap mendekap tanpa kita tahu seluruh.

Saturday, September 11, 2010

Kitab Para Pecundang

Celak mata yang merona hitam, bertatap
kosong menantang angkasa.
bisu harap karena sang petaka
terpilih kembali.
Kami beranjak dari kursi yang
teralunkan tembang-tembang kehidupan
lama, membuang segala pedoman
berbau kekangan.

Jiwa tertantang untuk melawan,
memberanguskan semua takdir
yang tak menawan. Nestapa jadi acuan,
tak mau terus ditelan kegelapan.
Mengayun langkah menuju masa depan,
kami haus kemenangan!
Tak perduli apa rintang,
kami lelah jadi pecundang.
Bahkan takdir kami terlalu nyeri pabila
diperhatikan dengan seksama.
Kami akan menguat seiring
perjalanan, walau tanpa penuntun.

Kami tak lelah belajar,
menguatkan keyakinan.
Beragam kitab menjadi panutan, kami resapi,
ambil yang terbaik untuk meretas jalan.
Terkadang rasa penat hinggap,
melekat. Langkah kami kian berat.
Belenggu selalu mengecam, mendekat... kian mendekat!
Semalaman tak usai kami berpikir,
menganalisa buku takdir.
maaf kawan memang tak bisa berubah, inilah takdir kita...

Wednesday, September 1, 2010

Usai Mimpi

Di tepi mimpi kita merapikan perasaan yang carut ini.
Menyusunnya bertingkat, semua rasa mengerut.


Jangan bisu, jawab aku. Resahku menderu saat tintanya merembeskan rindu.
Dengarkah kau rintihan sendu?


Kugores pena, serefleksi gundah.
Rajam aku, dengan tandamu.
Tinggalkan luka, tulislah namamu.
Sengat aku, dengan baramu.
Genapkan lara, sebaris epitaf.

Bawa pergi sisa kata tak bermakna, menelusur sampai senja penghabisan. Sisa pilu yang membasuh, seperti pagi dilahap kelabu. Aku lumpuh, selumpuh gerhana matahari.
Sisa jelaga yang menggigil di pagi buta, tanpamu..