Sunday, August 29, 2010

Kehatimu-lah Aku Ingin Pulang

Aku berdusta di awal petang berpelangi, kala horizon mulai mengarak senja. Aku terguncang, emosiku meradang, sedang lara kian mengambang. Perlahan rasa mulai melekang, menyisakan sepi lengang, hingga memuncaklah bimbang, yang kokoh meletak jarak rentang.


Saat menjelang gelap yang meremang, gundah ini tak jua hilang, menggumam aku sambil bersenandung. Telah hilang sudah segala senang, beralih resah nan menerjang. Sudah kutikami segala lapang, sisa rasa usang lekang.


Malamku gamang, rusuh hatiku tak kunjung tenang, ah, mungkinkah aku terjebak di malam tak berbintang?. Semua asa memburu di tiap cerukan angan, di ujung kata kujerang hati yang gersang. Mungkinkah kudapat pencerahan? Aku sudah terpuruk di dasar jurang. Tak mampu kupatahkan gugusan ragu yang terus membentang. Melelang bayangbayang, meragu, menatap gelumbang. Hingga tak bersisa gemintang.


Aku karam, retak berpatah. Melelehkan teguh pancang. Melepas asa perlahan menghilang. Kumohon.. Tolong tunggu aku, hapus nelangsaku, beri aku tenang, memeluk cinta yang memanja. Ke hatimulah aku ingin pulang...

Wednesday, August 25, 2010

Cinta di Tanda Baca

Aku, kamu; dua insan menulis cinta dengan tanda baca. Mengukir aksara CINTA sebelum titik mengakhirinya.


Jika aku koma, kau pasti menjadi titik. Bersama kita buat kata melompat, tersungkur, menangis, lalu terbahak. Kita abadi di noktah terakhir.


Jika kau titik, pasti aku koma. Berdua kita titik koma, yang menawar penghabisan menjadi jeda. Dan cerita tak menemu ujung yang berhenti.


Bila kau tanya, sedang aku seru. Kita damai dalam jawab. Menyihir gemuruh, gempita, gemerlap dengan kata.


Maka aku pun menjadi tanda seru. Penegas yang pasti, penanda bahagia tanpa batas. Bersama, kita buat kisah yang menarik sampai mati.


Maka Engkau pun menjadi tanya. Menjadi pengingat rasa luka, saat cinta terlalu berkuasa, membuai jiwa dengan suka.


Maka kita, adalah sepasang tanda kutip. Mengawali kisah di cinta dan mengutipnya dengan helaihelai kenangan yang mengabadi. Di sini, rumah kita.


Aku dan Engkau, lalu serupa sepasang manusia di depan titik dua: KITA. Tanpa tanda, bukankah cinta telah bertandang di titik, koma, seru yang bertanya tentang katakata? Lalu menyihir keindahan: KITA.


Jadi, bolehkah aku tanpa tanda? Aku hanya bisa berkata, lalu sempurnakan aku dengan tandatandamu. Bukankah kau penyempurna?

Sunday, August 22, 2010

Kematian Sepenggal Kata

Sesuatu tersesat di mulut waktu, lalu hilang melongong: sesuatu yang belum terabai tangan, masih pekat terselimut. Di bisu yang kau dekap itu, ada sunyi yang riuh menikam aksara. Sedang antara kita menjadi pusara atas waktu yang bentangkan berjuta jarak pada cercah matahari dan arak gemawan. Entah sampai kapan kita harus betah tinggal di ombak yang tak menggulung.


Sepotong pigura yang pecah berdesing dihantam rindu. Retak lara. Lalu kelam dimakan dalam suatu pesta pora.
Sesungguhnya, yang majal itu, malaikat maut yang bersayap hitam ataukah sebaris kata yang tak kunjung selesai kau tuliskan? Karena ketika ketajaman kata menjadi tumpul, pengkekangan menjadi sebuah pasal taat hukum. Hidup tanpa cinta memang hampa luar biasa, tetapi pemasungan sebuah kata yang merdeka? Seluruh segala akan binasa.


Di jelata kata, tidakkah kau lihat kami melata dan terlunta? Terbata memilah cinta di dalam sepotong roti. Maka aku yang tanpa roh menetap di mataku ini, tanpa sehimpunan sahabat, aku akan melepaskan kata dari belenggunya.


Tetapi kemarau memberangus tunastunas. Ladang huruf mengerontang dalam penantian. Segumpalan kata yang teronggok usang, seperti tanah keramat yang tak pernah jamah tangan. Haram untuk kita minumi setiap maknanya. Dan lihatlah para tuan tanah tamak kian membuncit dalam paceklik.


Lalu sekali lagi sepatah kata patah di udara. Telinga bungkam sedang mulut tuli.
Sekali lagi sebuah kalimat menjadi tanpa hakikat, terbelah oleh lidah penguasa yang senang berjingkat dengan mata menebar jerat.
Dan manusia kembali mati kata. Imajinasi menjadi sebuah reka para penguasa, priyayi, bukan milik orang merdeka.


Pada akhirnya, tanpa kata, semua kamu, atau kita, tak lagi menemukan makna. Tanpa kata, kita tak lagi merdeka. Kita mati, di dalam sunyi yang panjang.

Wednesday, August 18, 2010

Labalaba Menyulam Jaring



Jejaring laba-laba di sudut kamarmu, tumbuh bagai kelambu keranda di sela-sela jemarimu, menggoda amarah yang menderu. Pasangkan genta yang berbunyi saat diembus angin, menerjang angan akan kematian, seakan setan menghampirimu, menghampiri kita.


Jejaring laba-laba; sesunyi pusara malam, menumbuhkan lirih rindu yang menyeruak dada, hingga terasa enggan membunuh nelangsa. Gemintang tak jelang di pekat malam: gelap! Membuat semua mata buta. Adakah helai-helai kenangan kau gantung di jala-jalanya?


Aku: secuil kecil serangga mungil, menitiskan alunan merdu tanpa suara. Dengarkah getarnya mengirama? Tak kuasa biarkan asa bicara, seakan surga hanya fana. Sepi, sendiri mengusap kelam, rimba jiwa kian melegam, tinggallah kalbu yang terbenam.


Ingin kutambal langit-langitmu yang robek, kupetik garisnya, hingga sisa debu kelabu. Lalu menghunus butir-butir kenangan masa lalu, yang membelenggu siklus waktu, membelai ingatan yang terlupa. Ketika bisu semua, hening bagai mati, mungkin hilang ditelan mimpi.


Tinggallah di sini, sepotong jelaga yang kusam.
Sisakan cerita lama yang mendingin, yang menjaga agar sejarah terukir.
Maka kan kupegang itu sebagai harap nan getir………

Tuesday, August 17, 2010

Indonesia di Dalam Diri





Sabang. Rote. Nias. Kupang. Bali. Toraja. Hingga ke Merauke, semua lansekap itu tak ada arti jika tanpamu memberai makna. Maka mari kita urai setiap kata, mencoba ungkap ukuran Indonesia. 


Dari Puncak Leuser, aku lepas penglihatan, ditelisik hujan malam kelam. Mencari secarik puisi. Tahukah kamu? Jantungku membeku. Lantas, kucampakkan kata di Puncak Merapi, menghancurkan kalimatkalimat duka. Berpeluh suka di jalur abu, saat lahar dingin menyerbu. Lantas, kuledakkan segenap katakata bersama api Krakatau. Barangkali ada makna yang tersisa di antara jelaga. Kita pun berhenti bertanya tentang dirinya yang raya dan megah. Lantas, kulabuhkan cintaku bersama derai angin di Tangkuban Perahu. Suatu saat, ia akan sampai padanya, membawakan ke-26 aksara kembali. Dan saat itu,  aku terjun bebas seperti Ngarai Sianok di bibir jurang, melayang dalam rindu, rasa, dan lara; angkuh menengadah menentang dunia. 


Seangkuh Monumen Nasional, yang menjelma rindu. Tegar, kokoh, tak terbantahkan. Emas di pucuk adalah dirinya, indah asaku dengan hadirnya. Bahkan di tengah terik, ia seperti rimbun Kebun Raya. Kuhitungi dedaunannya yang gugur jatuh, sebanyak detak nadiku, yang berdebar olehnya dan untuknya. Dedaunan yang menguning. Senja yang lembayung; membayangi pesan di Stasiun Balapan. 


Di sana, kurenungkan makna rindu. Bulir air jatuh dari mata. Haru… saat kumulai menerjemahkannya. Lagi-lagi, ucapku hanya bisu, keramaian Malioboro membius. Namun lihatlah mataku di bawah matahari. Semuamu kupahat di situ. Ah, tidakkah Dia seperti fajar yang terlihat dari Borobudur? Dan senyap yang menyusup itu, saat semua getar mereda dalam naluri yang bangga, adakah bahasa yang sanggup mengutarakan? 


Kuperhatikan Dia dari Mendut. Cahaya yang bersinar lembut, menusuk pandang majemuk. Menyatukan aku, engkau, dan Dia, di tengah Nusantara. Mengabadikan aku menjadi stupa ke-1000 di Prambanannya. Maka aku miliknya semata, selamanya. Semoga cinta kita seperti lumbalumba di ujung Carita. Indah, bermisteri, menuju laut yang tak terbatas. Selalu bersamasama…kita.  Lalu kelak, cinta itu akan setua kurakura berusia ratusan tahun di pantai Derawan, merenangi kedalaman yang tak surut tanpa takut. 


Di tepi Pangandaran kutinggalkan asaku. Angan ini tak jua luluh lantak, kutaruh harap pada ombak. Bawa rasa ke pantainya, saat itu. Hingga ke pesisir Karimun Jawa. Hatiku, hatiku, berserakan seperti pasir putih, menunggu ombaknya datang dan menghapus jejak lara yang tertinggal. 


Dari ribuan kilometer di ketinggian Sindoro, kutenggelamkan rasa ini hingga ke dasar gelombang di Bunaken. Jadilah ia artefak seiring waktu. Dan di Wakatobi, mutiaranya sempurna dalam kesederhaan yang abadi. Tuailah, tapi jangan perlakukan ia seperti Dreamland. Terkomersil kata, sedang hati hampa. Angkatlah ia dari sentuhan nestapa. 


Karena setianya sesungguhnya sesejuk pagi Semeru. Mengundang hati selalu tak gentar. Letihnya perjalanan menguap. Dia buatku terkesiap. Dengannya aku berpegang. Dan di puncak Bromo, kristal rindu merinai berpagut. Di Ranu Kumbolo kita songsong asa yang terpaut. Dan di Laut Selatan semua cinta bertaut kembali. Kusambangi dirinya di buih ombak, di mana cinta menguak. Kutuliskan lariklarik ini ke lipatan perahu kertas, kulabuhkan ia ke pesisir Parangtritis. Semoga dunia membacanya. 


Kusepikan hati di Tana Toraja. Menutup diri untuk semua. Segala rasa kuhentikan, kusimpan jauh di palung hati. Hanya untuknya… kutitipkan selarik rima di Tongkonan. Sedikit jejak yang masih membara, membercak di dinding yang dingin. Lihatkah? Di larut salju Jayawijaya, kusematkan rindu yang melangut. Di Arafuru kurunut hati yang tak surut. Menyepi aku di Raja Ampat. Bersembunyi, menjauh, aku tersudut. Rasaku mulai hanyut. Aku dihantui takut. Maka aku selalu kembali. Seperti embun di gugusan Bukit Barisan. Tak henti menghujani Kerinci. Tak henti menanti dan menjagai. 


Kuukir kebesarannya di lembah Rinjani. Kutarik garismu dari batas Gili Trawangan. Tak menciut aku diredam jarak. Kumohon kau mendekat. 
Kurembeskan rindu menjadi senja merah di Kuta. Menyisipkan mimpi yang berderai di fajar yang bersuluh putih. Orang-orang boleh datang dan pergi mengagumi pelangi di Senggigi, ketika hujan tak tergenggam dan matahari melepuh terbakar lara. Tetapi aku tetap merah dan putih yang berkibar merobek angkasa. 


Selama nyawa masih disekap raga, Indonesia akan kubela.
Selama darahku merah, tulangku putih, selama itu pula Indonesia ada dalam diriku.